Jejak Karbon dari yang Kita Makan dan Sisakan

Administrator
0 Comments
2024-03-26

Pernah terlintas tidak dibenak kita kalo ternyata makanan yang kita santap setiap hari ada pengaruhnya ke pemanasan global? Sulit rasanya mengaitkan sepiring makanan lezat dengan emisi karbon yang jadi dalang krisis iklim. Namun kenyataannya, ketika kita makan dalam bentuk apapun termasuk sebagai upaya bertahan hidup, pemenuhan gizi, hobi, atau pelampiasan stress (stress eating), banyak jejak karbon yang bermunculan sebelum dan sesudahnya. Yuk pelajari mulai dari melihat apa yang ada di piring kita dulu.


Di piring warga republik yang kita cintai ini, umumnya ada sumber utama karbohidrat berupa nasi yang bisa diganti jagung, porang, sagu atau lainnya. Kemudian ada aneka ragam sayur dan lauk yang sesuai selera dan kantong kita. Kadang di sebelah piring juga ada buah-buahan pencuci mulut dan minuman rasa-rasa atau minimal air putih.


Aneka sajian ini tidak muncul begitu saja turun dari langit atau dari pemerintah. Harus ada petani yang menanam, penjual yang memasarkan, abang sopir yang mengantarkan, orangtua atau kita sendiri yang membeli dan memasak. Proses panjang ini tidak serta merta berakhir di perut kita, kadang ada sisa makanan yang sebenernya sayang namun harus dibuang dan berakhir jadi limbah menggunung di tempat pembuangan sampah akhir. Di tiap proses di atas ada makanan terbuang, ada juga emisi dari kegiatan masing-masing yang tak terhindarkan.


Saat ini, kurang lebih sepertiga dari semua makanan yang diproduksi terbuang setiap tahun di seluruh rantai pasok (FAO, 2011). Setara 1,3 miliar ton makanan termasuk buah, sayuran, daging, produk susu, makanan laut, dan biji-bijian. Contoh sederhananya adalah buah apel yang dipetik tidak dapat semua dari pohonnya untuk didistribusikan ke pasar atau supermarket. Beberapa apel mungkin rusak atau membusuk selama proses pengumpulan atau kualitasnya tidak memenuhi standar. Kemudian, selama transportasi apel dapat rusak karena goncangan, tekanan, atau suhu yang tidak sesuai. Selanjutnya, di pasar atau supermarket, apel seringkali ditempatkan di rak atau display dengan durasi penjualan terbatas, dimana yang tidak terjual dalam waktu singkat cenderung dibuang. 


Terkait masalah sampah makanan ini, Indonesia ada diperingkat 2 di Asia Tenggara setelah Vietnam dengan angka 77 dibandingkan 76 kg sampah perkapita pertahun. Angka ini disarikan dari laporan United Nations Environment Programme (UNEP) bertajuk Food Waste Index 2021 Angka Indonesia terbilang cukup baik diantara negara-negara ASEAN yang rata-rata di 83 kg namun masih kurang dari rerata global di 74 kg ataun China di 64 kg dan India di 50 kg sampah perkapita pertahun. Secara keseluruhan, sampah makanan di Indonesia mencapai 20,93 juta ton. Jumlah tinggi yang mengecewakan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dengan penduduk jauh lebih banyak namun totalnya hanya 19.35 juta ton.


Angka di atas menjadi masalah pelik karena ketika limbah sisa makanan mulai membusuk, gas rumah kaca utamanya metana akan dilepaskan ke atmosfer yang mana dampaknya 20 - 40 kali lebih kuat merangkap panas daripada karbon dioksida dan menjadi salah satu pemicu krisis iklim.

Pemicu krisis iklim terkait makanan bukan hanya seputar makanan terbuang, tapi juga emisi gas rumah kaca dari proses menanam, memproses, mengemas, dan mengangkut bahan makanan. Berikut penjelasan singkat terkait emisi dan solusi atau opsi di tiap tahapan terkait.

Menurut World Resources Institute (WRI), beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi pada tahap ini yakni tidak menggunakan pupuk secara berlebihan, memperbaiki pengelolaan kotoran ternak agar tidak dibiarkan dalam waktu yang lama, pembiakan hewan secara selektif untuk menghasilkan ternak dengan kualitas baik yang lebih efisien untuk menghasilkan makanan, dan sebagainya. 

  • Pengolahan dan penyimpanan dimana emisi dapat timbul dari penggunaan energi di fasilitas pengolahan, pembuangan limbah ataupun makanan yang kualitasnya jelek sehingga tidak dapat dikonsumsi, serta dari produksi dan pembuangan bahan kemasan.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi pada tahap ini adalah dengan menggunakan peralatan pengolahan makanan dengan lebih efisien. Selain itu, untuk pengemasan, dapat menggunakan bahan kemasan yang lebih mudah terurai seperti kertas atau kaca.

  • Distribusi dan transportasi, meliputi pendistribusian makanan dari tempat produksi ke distributor. Hal ini mencakup emisi yang dihasilkan dari kendaraan (truk, kapal, kereta api, dan pesawat) yang mengirim produk dari pertanian dan fasilitas produksi ke pusat distribusi, pasar, dan pengecer.

Emisi timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan transportasi dan dapat bervariasi tergantung pada jarak tempuh, mode transportasi, dan efisiensi bahan bakar. Transportasi sendiri diketahui menyumbang sekitar 19% dari total emisi gas rumah kaca dari sistem pangan.


Salah satu cara untuk mengurangi emisi dari sektor ini adalah mengurangi jarak transportasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari bahan baku makanan secara lokal maupun menggunakan mode transportasi yang lebih efisien, contohnya pendistribusian menggunakan kapal dibanding pesawat untuk makanan dengan umur penyimpanan yang relatif lebih lama.

  • Perilaku konsumen, yang mencakup pembelian yang berlebihan. Penyimpanan dan pembuangan makanan yang tidak terukur dapat menyumbang tingginya sampah makanan di tingkat rumah tangga. 


Saat bahan makanan atau makanan jadi sampai pada konsumen, emisi yang dihasilkan meliputi emisi dari produksi, pengolahan, dan transportasi pada tahap sebelumnya. Sehingga Jika suatu makanan dibuang, maka emisi yang sudah dihasilkan tersebut menjadi sia-sia, bahkan akan bertambah dari emisi yang dihasilkan oleh pembuangan sampah makanan tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi pada tahap ini adalah dengan tidak menyisakan makanan, mengurangi konsumsi produk hewani, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan beberapa jenis makanan seperti produk daging dan susu, dapat memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan berbasis tanaman.


Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi emisi di tahap ini adalah dengan pemasangan pipa penangkap gas metana pada setiap TPA, yang hasil tangkapan gas metananya dapat dikonversi kemudian digunakan sebagai sumber energi alternatif jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Selain itu, langkah lain yang dapat dilakukan yakni pemilahan sampah organik dan anorganik sebelum dan saat pembuangan sampah, optimalisasi penggunaan bank sampah, dan sebagainya. 

Kesimpulannya, emisi makanan yang kita konsumsi setiap hari merupakan akumulasi dari banyak tahapan. Nah, kita sebagai konsumen punya kemampuan untuk meminimalkan emisi yang dihasilkan meskipun keterlibatan kita hanya saat membeli dan memakan. Misalnya dengan langkah berikut

  1. Merencanakan menu makanan mingguan untuk menghindari pembelian impulsif berujung mubazir
  2. Memilih makanan yang cenderung lebih rendah emisinya secara keseluruhan,
  3. Menyimpan makanan dengan benar untuk mencegah pembusukan
  4. Mengelola sampah organik menjadi kompos guna menjauhkan makanan yang tidak dapat dimakan dari tempat pembuangan akhir

Meskipun sederhana, upaya-upaya di atas dapat mengurangi jejak karbon kita cukup signifikan apalagi jika dilakukan secara kolektif dan konsisten. Kamu bisa coba hitung jejak karbon dari kegiatan harian termasuk makanan di https://jejakkarbonku.id/kalkulator


Artikel Yang Berhubungan



Podcast



Video



Tags

Share

0 Komentar

 

© Copyright 2021, All right reserved by IESR


Loading ...