Katanya Pada Mudik Tapi Kok Jakarta.....

Administrator
0 Comments
2023-05-11

Saat Lebaran, banyak beredar di media sosial foto-foto netizen berkegiatan di tengah sepinya kota Jakarta. Ada yang berolahraga pound fit, ada yang berpose menggunakan kebaya, ada juga yang memasang tenda camping dan berfoto lengkap dengan kostum camping seperti di gunung. 


Nampaknya Jakarta sedang sepi-sepinya, dan sedikit sekali kendaraan yang melintas di jalanan Jakarta. Karena banyak ditinggal penghuninya mudik ke kampung halaman untuk berlebaran. 


Tapi sepinya Jakarta bukan berarti tidak kualitas udara Jakarta jadi baik dan tidak ada emisi karbon. Karena sumber dari polusi itu bukan hanya dari gas buang transportasi saja. Melainkan juga pembakaran sampah, pabrik dan lain-lain. 


Ada perbadingan kualitas udara yang mencolok pada tanggal 29 April dan 1 Mei. Pada 29 April udara di Jakarta terasa sejuk dan segar. Penyebabnya adalah cuaca. Saat itu berdasarkan image satelite ada bibit siklon 98S yang mulai terbentuk di selatan pulau Jawa. Dampak tidak langsung dari bibit siklon 98S ini adalah hujan dengan intensitas sedang hingga sangat lebat. Inilah yang membuat cuaca terasa cukup sejuk dan segar. Namun setelah itu, udara rasanya kembali lagi seperti semula.


Permasalahan utama Jakarta terasa panas tampaknya bukan karena faktor cuaca semata. Banyaknya PLTU yang ada di sekitar Jakarta juga mempengaruhi kualitas udara. Ada 10 PLTU batubara yang menyumbang polusi di sekitar Jakarta. Diantaranya adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3.400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW, PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp. berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1.050 MW.


Selain itu masih ada empat PLTU berbahan bakar batubara yang masih dalam tahap pembangunan. Dari 10 PLTU itu saja sudah menyumbang sekitar 20-30% polusi udara Jakarta. Lalu bagaimana kalau terus-terusan bertambah. Itu baru di Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur, yaitu 26 unit. Selain itu PLTU juga terdapat di Banten dan Jawa Timur yang masing-masing sebanyak 22 unit.


Namun jika pembangunan dan PLTU di Indonesia masih terus beroperasi, banyak dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat. Diantaranya mengancam nyawa, mengganggu sistem pernafasan, pelepasan polutan, merusak ekosistem, abu terbang, emisi zat berbahaya, dan menghasilkan jutaan ton limbah. Dampak dari PLTU batubara ini sangat memungkinkan dirasakan dalam waktu dekat, dan juga dalam jangka waktu yang panjang.


Karena itu pentingnya percepatan transisi energi untuk mengurangi emisi karbon dan dampaknya ke masyarakat dan ekosistem. Penghentian penggunaan PLTU batu bara merupakan bagian rencana pemerintah dalam percepatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Dalam rencana ini pemerintah bakal menghentikan perencanaan baru pembangunan PLTU yang akan digantikan dengan pembangkit EBT pada 2025. Penutupan PLTU batu bara sejatinya akan dilakukan pada tahun 2050. 


Kalau pemerintah tidak tegas dalam menangani rencana penutupan PLTU ini, bisa dibayangkan jika kita akan terus-terusan beraktivitas dengan cuaca panas, dan dampak kesehatan serta ekosistem yang mengkhawatirkan.


Artikel Yang Berhubungan



Podcast



Video



Tags

Share

0 Komentar

 

© Copyright 2021, All right reserved by IESR


Loading ...